Halo Papa, Mama, Ayah, dan Bunda!
Pernah nggak sih merasa hidup keluarga kita itu kayak lagi diuji terus-menerus? Pagi-pagi sudah riweuh urus anak sekolah, berangkat kerja macet-macetan, di kantor dikejar deadline, pulang masih harus beresin rumah, belum lagi mikirin cicilan, biaya sekolah, dan drama anak yang nggak ada habisnya. Rasanya kayak masuk ke dalam "tungku api" yang panas dan bikin sesak.
Kalau pernah, selamat! Kita nggak sendirian. Ribuan tahun yang lalu, umat Tuhan juga merasakan hal yang sama. Kitab Yesaya 48 ini ditulis untuk mereka yang sedang merasa lelah, tertekan, dan terjebak dalam situasi sulit di pembuangan Babel. Menariknya, pesan Tuhan untuk mereka ternyata super relevan buat kita, keluarga muda yang hidup di zaman now.
Mari kita bedah bersama beberapa harta karun dari Yesaya 48 ini.
1. Telinga yang Terbuka vs. Hati yang "Keras Kepala" (Ayat 1-8)
Tuhan mengawali pasal ini dengan sedikit "menyentil" umat-Nya. "Dengarlah, hai kaum Yakub... yang bersumpah demi nama TUHAN..." (ayat 1). Tapi, Tuhan tahu kalau mereka seringkali cuma dengar di kuping, tapi nggak masuk ke hati. Mereka tahu siapa Tuhan, tapi hidupnya nggak mencerminkan itu. Istilah kerennya, mereka "tahu sama tahu", tapi keras kepala (ayat 4: "lehermu urat besi dan dahimu tembaga").
Konteks Kekinian: Zaman sekarang, "suara" yang masuk ke keluarga kita itu banyak banget. Ada suara dari media sosial tentang standar keluarga "ideal", nasihat parenting dari ribuan akun, tekanan dari lingkungan soal pencapaian materi, sampai bisikan dari dalam diri kita sendiri yang bilang kita kurang ini-itu.
Di tengah semua kebisingan itu, suara siapa yang paling kencang di rumah kita? Apakah suara Tuhan lewat firman-Nya, atau suara dunia? Tanpa sadar, kita bisa jadi "keras kepala". Kita tahu harusnya mengandalkan Tuhan, tapi nyatanya lebih panik lihat saldo rekening. Kita tahu harus sabar sama anak, tapi nyatanya lebih gampang marah-marah karena lelah.
Refleksi Keluarga:
- Yuk, coba jujur satu sama lain. "Idola" modern apa yang seringkali menggantikan posisi Tuhan dalam keluarga kita? Apakah itu karier, pencapaian anak, atau gengsi sosial?
2. Proses "Peleburan", Bukan "Penghancuran" (Ayat 10)
Ini ayat kuncinya: "Sesungguhnya, Aku telah memurnikan engkau, namun bukan seperti perak; Aku telah menguji engkau dalam dapur kesengsaraan."
Saat kita menghadapi kesulitan—entah itu masalah keuangan, konflik suami-istri, atau tantangan mengasuh anak—seringkali kita berpikir Tuhan sedang menghukum kita. Tapi Yesaya 48 memberikan sudut pandang yang berbeda. Tuhan tidak sedang menghancurkan kita. Dia sedang memurnikan.
Bayangkan proses pembuatan perhiasan emas. Emas mentah harus dimasukkan ke dalam api yang sangat panas untuk memisahkan kotoran dan logam lainnya. Tujuannya bukan untuk membakar hangus emas itu, tapi untuk membuatnya jadi murni, indah, dan lebih berharga.
Konteks Kekinian: "Dapur kesengsaraan" atau "tungku peleburan" kita mungkin berupa:
- Keuangan yang pas-pasan: Mengajar kita untuk hidup bijak, kreatif, dan benar-benar bergantung pada pemeliharaan Tuhan, bukan pada gaji semata.
- Anak yang sedang tantrum atau sakit: Menguji kesabaran kita, memaksa kita untuk bekerja sama sebagai tim (suami-istri), dan mendorong kita untuk lebih banyak berdoa.
- Perbedaan pendapat antara suami dan istri: Memaksa kita untuk belajar komunikasi yang lebih baik, mengalahkan ego, dan mencari kehendak Tuhan bersama-sama.
Tuhan izinkan "panas" itu untuk membakar habis "kotoran" dalam diri kita: kesombongan, egoisme, kekhawatiran yang berlebihan, dan ketergantungan pada kekuatan sendiri.
Refleksi Keluarga:
- Di tengah "tungku peleburan" apa keluarga kita saat ini? Bisakah kita mencoba melihat tangan Tuhan yang sedang membentuk karakter kita di dalamnya?
3. Keluar dari "Babel" dan Ikut Pimpinan-Nya (Ayat 17, 20)
Tuhan nggak cuma membiarkan umat-Nya di dalam tungku. Ada perintah yang jelas: "Keluarlah dari Babel!" (ayat 20). Dan ada janji yang indah: "Akulah TUHAN, Allahmu, yang mengajar engkau tentang apa yang memberi faedah, yang menuntun engkau di jalan yang harus kautempuh." (ayat 17).
Konteks Kekinian: "Babel" modern bagi keluarga muda bisa berarti banyak hal:
- Gaya hidup konsumtif dan materialistis yang didikte oleh iklan dan media sosial.
- Mentalitas "rat race" yang membuat kita gila kerja sampai lupa waktu untuk pasangan dan anak.
- Budaya membanding-bandingkan (komparasi) yang mencuri sukacita.
- Nilai-nilai dunia yang bertentangan dengan iman kita.
Perintah "keluar dari Babel" adalah panggilan bagi keluarga kita untuk berani hidup berbeda. Berani bilang "cukup" saat dunia menuntut "lebih". Berani memprioritaskan waktu keluarga di atas lembur yang tidak perlu. Berani mendidik anak sesuai nilai firman Tuhan, bukan tren sesaat.
Dan kabar baiknya, kita tidak disuruh jalan sendiri. Tuhan berjanji akan mengajar dan menuntun. Dia adalah "Google Maps" rohani terbaik yang tidak akan pernah salah arah.
Refleksi Keluarga:
- Gaya hidup "Babel" mana yang tanpa sadar sudah menyusup ke dalam pondasi keluarga kita? Apa satu langkah konkret yang bisa kita ambil minggu ini untuk mulai "keluar" darinya?
Aplikasi Praktis & Doa
Sebagai keluarga, mari kita ambil waktu sejenak malam ini atau di akhir pekan:
- Bicara & Dengar: Suami dan istri saling berbagi, "Tungku peleburan" apa yang paling kamu rasakan saat ini? Bagaimana kita bisa saling menguatkan di dalamnya?
- Lihat Ulang Prioritas: Coba cek kembali anggaran dan jadwal mingguan kita. Apakah sudah mencerminkan prioritas Tuhan, atau masih didominasi oleh "gaya hidup Babel"?
- Berdoa Bersama: Jangan hanya pusing sendiri-sendiri. Lipat tangan bersama, bahkan ajak anak-anak. Akui kelemahan kita dan minta Tuhan menunjukkan jalan yang harus kita tempuh.
Doa Penutup:
Tuhan Yesus yang baik, terima kasih untuk firman-Mu dari kitab Yesaya yang mengingatkan kami hari ini. Ampuni kami, Tuhan, kalau seringkali hati kami keras dan telinga kami tertutup dari suara-Mu, karena terlalu sibuk mendengar suara dunia.
Renungan Keluarga Muda: DITEMPA, BUKAN DIBAKAR HANGUS