Di Balik Tragedi: Tangan Kedaulatan Allah yang Tak Terlihat

Bacaan: Rut 1:1-14

Seringkali kita memandang hidup ini sebagai serangkaian kebetulan. Ketika krisis ekonomi melanda, ketika sakit penyakit datang, atau ketika kematian merenggut orang yang kita kasihi, reaksi pertama kita seringkali adalah kepanikan. Kita bertanya, "Di mana Tuhan?"

Namun, nas dari Kitab Rut 1:1-14 ini mengajarkan kita sebuah doktrin yang sangat indah dan kokoh: Doktrin Penyelenggaraan Ilahi (Divine Providence). Bahwa di tengah kelaparan, keputusan yang salah, dan kematian yang tragis, Allah sedang menenun sebuah rencana agung yang jauh melampaui pemahaman manusia. Mari kita selami tiga kebenaran teologis dari perikop ini.

1. Kegagalan Logika Manusia (Ayat 1-5)

Kisah ini dimulai dengan kalimat yang gelap: "Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel." Zaman Hakim-hakim adalah zaman di mana setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Kelaparan di dalam Perjanjian Lama jarang sekali hanya sekadar fenomena alam; itu seringkali merupakan alat pendisiplinan Allah bagi umat-Nya.

Perhatikan ironi yang terjadi:

  • Elimelekh, yang namanya berarti "Allahku adalah Raja", justru bertindak seolah-olah Allah bukan Raja yang sanggup memeliharanya.
  • Ia tinggal di Betlehem, yang berarti "Rumah Roti". Namun, karena krisis sesaat, ia meninggalkan "Rumah Roti" itu untuk mencari kepuasan di Moab.

Saudara, Moab bukanlah sekadar negara tetangga. Moab adalah bangsa yang lahir dari hubungan inses (Kejadian 19:37) dan merupakan musuh umat Allah. Elimelekh mengambil keputusan berdasarkan pragmatisme, bukan iman. Ia berpikir, "Di sini susah, di sana tampaknya makmur. Mari kita pindah."

Inilah gambaran natur manusia yang telah jatuh dalam dosa. Kita sering kali meninggalkan tempat di mana berkat rohani berada (gereja, persekutuan, ketaatan) demi mengejar kenyamanan fisik di "Moab" (dunia).

Apa hasilnya? Tragedi total. Elimelekh meninggal. Kedua anaknya, Mahlon dan Kilyon, menikahi perempuan Moab—sesuatu yang dilarang karena berpotensi menajiskan iman mereka. Dan akhirnya, kedua anak itu pun meninggal. Sepuluh tahun di Moab tidak menghasilkan cucu, tidak menghasilkan kekayaan, hanya menyisakan tiga janda yang menangis di tepi jalan.

Ini mengajarkan kita: Lari dari disiplin Allah menuju kenyamanan duniawi tidak pernah menyelesaikan masalah; itu hanya menunda masalah dan menambah kedukaannya.

2. Panggilan yang Berdaulat dalam Penderitaan (Ayat 6-7)

Namun, teologi Reformed mengajarkan kita bahwa Allah tidak pernah melepaskan tangan-Nya, bahkan ketika umat-Nya memberontak. Ayat 6 adalah titik baliknya:

"Maka berkemaslah ia dengan kedua menantunya dan ia pulang dari daerah Moab, sebab di daerah Moab ia mendengar bahwa TUHAN telah memperhatikan umat-Nya dan memberikan makanan kepada mereka."

Perhatikan kata "TUHAN telah memperhatikan". Dalam bahasa aslinya, ini bermakna Allah melawat atau mengunjungi (Divine Visitation).

Naomi kehilangan suami, kehilangan anak, dan kehilangan harta. Ia hancur lebur. Tetapi justru di titik terendah itulah, ia mendengar kabar baik bahwa ada "roti" di Betlehem. Seringkali, Allah harus "mengosongkan" tangan kita dari pegangan duniawi (seperti yang dialami Naomi di Moab) supaya tangan kita terbuka untuk kembali memegang janji Allah.

Penderitaan Naomi bukanlah hukuman yang membinasakan, melainkan hukuman yang mendidik. Allah menggunakan kepahitan hidup untuk menarik Naomi kembali ke Tanah Perjanjian. Ini adalah bukti Anugerah yang Tak Terduga. Allah tidak membiarkan Naomi mati di tanah kafir; Dia memanggilnya pulang melalui jalan penderitaan.

3. Ujian Iman: Orpa vs. Rut (Ayat 8-14)

Ketika Naomi memutuskan untuk pulang, ia diuji. Ia mendesak kedua menantunya, Orpa dan Rut, untuk pulang ke rumah ibunya masing-masing di Moab. Secara logika manusia, Naomi benar. Apa masa depan janda muda di Israel? Tidak ada jaminan suami, tidak ada jaminan uang.

Di sinilah kita melihat perbedaan antara "simpati manusiawi" dan "iman sejati":

  • Orpa: Ia menangis, ia mencium mertuanya, ia sedih. Emosinya tersentuh. Tetapi akhirnya, ia "pulang ke bangsanya dan ke para allahnya" (ay. 15). Orpa mewakili orang yang mungkin tergerak hatinya oleh Injil, mungkin menangis di gereja, tetapi ketika dihadapkan pada harga yang harus dibayar (meninggalkan kenyamanan/budaya lama), mereka mundur.
  • Rut: (Meskipun pengakuan imannya yang penuh ada di ayat 16, dasarnya terlihat di ayat 14). Ia "berpaut" kepada Naomi. Kata "berpaut" ini sama dengan kata yang digunakan dalam Kejadian 2:24 untuk pernikahan. Ini adalah komitmen total yang melampaui logika.

Mengapa Rut berbeda dengan Orpa? Bukan karena Rut lebih baik secara moral, tetapi karena Anugerah Pilihan (Election). Allah sedang bekerja di hati seorang wanita Moab yang kafir ini. Di tengah tragedi keluarga Elimelekh, Allah sedang mempersiapkan seorang nenek moyang bagi Raja Daud, dan akhirnya bagi Tuhan Yesus Kristus.

Refleksi dan Aplikasi

Saudara sekalian, apa yang dapat kita bawa pulang dari perikop ini?

  1. Jangan mengandalkan pemeliharaan diri sendiri. Jangan tinggalkan "Betlehem" (tempat di mana Tuhan menempatkan Saudara untuk bertumbuh) hanya karena ada "kelaparan" (kesulitan ekonomi atau tantangan hidup). Rumput tetangga di "Moab" mungkin tampak lebih hijau, tetapi itu adalah tanah kematian spiritual.
  2. Lihatlah tangan Allah dalam penderitaanmu. Jika hari ini Saudara merasa seperti Naomi—kosong, pahit, dan kehilangan—ingatlah bahwa kisah ini belum selesai. Kekosongan Naomi adalah cara Allah untuk mempersiapkan dia menerima "penebus" (Boas) yang akan memulihkan hidupnya.
  3. Pertobatan adalah jalan pulang. Ketika Naomi mendengar Allah melawat umat-Nya, ia "berkemas dan pulang". Jika Saudara merasa telah jauh dari Tuhan, hari ini adalah harinya untuk berkemas. Jangan tetap tinggal di Moab. Kembalilah kepada Kristus, Sang Roti Hidup yang sejati.

Biarlah kita tidak menjadi seperti Elimelekh yang lari dari masalah, tetapi seperti Rut yang kelak akan berkata, "Allahmu adalah Allahku." Mari kita percaya bahwa di balik awan gelap tragedi kehidupan, matahari kedaulatan Allah tetap bersinar terang.

Soli Deo Gloria.


Masuk untuk meninggalkan komentar