Ketika Hadir Adalah Satu-satunya Pilihan

Matius 27:55-56

"Dan ada di situ banyak perempuan yang melihat dari jauh, yaitu perempuan-perempuan yang mengikuti Yesus dari Galilea untuk melayani Dia. Di antara mereka terdapat Maria Magdalena, dan Maria ibu Yakobus dan Yusuf, dan ibu anak-anak Zebedeus." (Matius 27:55-56)

Di tengah peristiwa paling kelam dalam sejarah penebusan, saat langit menjadi gelap dan Sang Juru Selamat menyerahkan nyawa-Nya, ada pemandangan yang begitu kuat namun sering terlewatkan. Para murid laki-laki, yang telah berjalan bersama Yesus selama tiga tahun, telah tercerai-berai dalam ketakutan dan kebingungan. Petrus menyangkal-Nya, yang lain bersembunyi. Namun di sana, dari kejauhan, berdiri sekelompok perempuan yang setia.

Renungan hari ini mengajak kita untuk merenungkan kekuatan luar biasa yang mereka tunjukkan—sebuah kekuatan yang tidak diukur dari kemampuan untuk mengubah keadaan, melainkan dari keteguhan untuk tetap hadir.

Hadir Saat Tak Ada Lagi Harapan

Bayangkan kondisi mereka. Para perempuan ini telah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus. Mereka menyaksikan mukjizat, mendengar ajaran yang mengubah hidup, dan menaruh harapan mereka pada-Nya sebagai Mesias. Kini, mereka melihat harapan itu dipaku di kayu salib. Rabi yang mereka kasihi sedang menderita dalam pendarahan fisik yang mengerikan.

  • Mereka tidak memperoleh apa pun. Tidak ada lagi roti yang digandakan, tidak ada lagi orang sakit yang disembuhkan di depan mata mereka. Yang ada hanyalah pemandangan kekalahan dan penderitaan.
  • Mereka tidak bisa menolong. Tangan mereka terikat. Mereka tidak memiliki kuasa untuk menghentikan tentara Romawi, meredakan cemoohan orang banyak, atau mencabut satu paku pun dari tubuh Yesus. Mereka sepenuhnya tidak berdaya untuk menghentikan penderitaan-Nya.
  • Mereka membahayakan diri sendiri. Berada di dekat lokasi eksekusi seorang yang dianggap musuh negara adalah tindakan berisiko. Namun, ketakutan akan keselamatan diri sendiri tidak sanggup mengusir mereka pergi.

Dalam ketidakberdayaan total dan tanpa pamrih, mereka melakukan satu-satunya hal yang masih bisa mereka lakukan: mereka tetap tinggal. Mereka tidak mau meninggalkan Yesus sendirian dalam penderitaan-Nya. Kehadiran mereka adalah sebuah deklarasi cinta yang sunyi namun paling bergema. Mereka menjadi saksi, bukan hanya atas kematian-Nya, tetapi atas kasih yang tidak akan lari bahkan ketika keadaan menjadi paling gelap.

Ini adalah bentuk kehadiran yang aktif. Bukan kehadiran pasif yang kebetulan ada di sana, melainkan sebuah keputusan sadar untuk menemani, untuk berbagi dalam duka meskipun mereka tidak bisa menghapusnya.

Gema Kesetiaan dalam Alkitab

Keteguhan para perempuan di kaki salib ini bukanlah anomali dalam Alkitab. Kisah-kisah lain menunjukkan kekuatan serupa:

  • Rut kepada Naomi: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku." (Rut 1:16). Rut memilih untuk tetap setia dalam kondisi tanpa harapan, menolak untuk meninggalkan Naomi dalam kepahitannya.
  • Kasih yang Bertindak: "Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran." (1 Yohanes 3:18). Para perempuan di Kalvari menunjukkan kasih dalam bentuknya yang paling murni: sebuah perbuatan kehadiran yang setia.
  • Ketekunan dalam Kebaikan: "Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah." (Galatia 6:9). Mereka tidak menjadi lemah. Dalam pelayanan terakhir mereka kepada Yesus di bumi, mereka bertahan sampai akhir.

Suara Perempuan Iman

Kekuatan dalam bertahan di tengah penderitaan ini juga disuarakan oleh banyak perempuan Kristen sepanjang sejarah.

"Iman melihat yang tidak terlihat, percaya pada yang luar biasa, dan menerima yang tidak mungkin." — Corrie ten Boom, penyintas Holocaust yang belajar menemukan kehadiran Tuhan di kamp konsentrasi paling brutal.

Para perempuan di kaki salib hidup dalam iman ini. Secara kasat mata, mereka melihat kekalahan. Namun iman mereka membuat mereka tetap tinggal, memegang teguh Pribadi yang mereka kasihi, bahkan ketika mereka tidak bisa memahami rencana-Nya.

"Saya tidak dipanggil untuk sukses, tetapi untuk setia." — Bunda Teresa.

Ini adalah inti dari tindakan para perempuan di bawah salib. Tujuan mereka bukanlah "sukses" dalam menyelamatkan Yesus. Tujuan mereka adalah untuk tetap "setia" kepada-Nya, apa pun hasilnya.

"Lakukan saja hal berikutnya yang harus dilakukan." — Elisabeth Elliot, seorang misionaris yang suaminya dibunuh oleh suku yang coba mereka layani.

Ketika kita merasa tidak berdaya dan dilumpuhkan oleh keadaan, sering kali tindakan iman yang paling besar adalah melakukan satu hal yang ada di depan kita. Bagi para perempuan itu, "hal berikutnya" adalah tetap berdiri, tetap melihat, dan tetap mengasihi dari jauh.

Refleksi untuk Perempuan Masa Kini

Sebagai perempuan di masa kini, kita mungkin tidak akan pernah berdiri di bawah salib secara fisik. Namun, kita akan menghadapi "salib-salib" kita sendiri:

  • Saat kita berdoa untuk kesembuhan orang yang kita kasihi, namun penyakitnya semakin parah.
  • Saat kita merasa pelayanan kita di gereja, di rumah, atau di komunitas tidak dihargai dan tidak membuahkan hasil.
  • Saat kita melihat orang yang kita cintai menderita dan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya.
  • Saat iman kita diuji dan sepertinya Tuhan diam.

Dalam momen-momen itu, mari kita mengingat Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan para perempuan lainnya. Mari kita belajar bahwa kekuatan kita tidak selalu terletak pada kemampuan untuk mengubah situasi. Terkadang, kekuatan terbesar adalah memilih untuk tidak pergi.

Tetaplah hadir. Tetaplah berdoa, meskipun terasa seperti kata-kata itu membentur langit-langit. Tetaplah mengasihi, meskipun tidak ada balasan. Tetaplah setia dalam hal-hal kecil. Sebab dalam kehadiran kita yang bertahan itulah, kita mencerminkan kasih Kristus yang paling murni—kasih yang bertahan sampai akhir. Kehadiran kita menjadi saksi bahwa bahkan dalam penderitaan yang paling dalam, Yesus tidak pernah ditinggalkan sendirian. Dan kita pun, tidak akan pernah Ia tinggalkan.

Sumber


Aanmelden om een reactie achter te laten