Kekuatan di Balik Kepemimpinan yang Membumi

Bacaan: Yohanes 13:12-17

Di tengah dunia yang menuntut pencapaian, jabatan, dan pengakuan, seringkali kepemimpinan diasosiasikan dengan kekuasaan dan posisi. Namun, sebuah perikop dalam Injil Yohanes mengajak kita, para milenial Kristen Indonesia, untuk menelusuri sebuah paradigma kepemimpinan yang radikal, yang justru menemukan kekuatannya dalam kerendahan hati, kasih, dan rasa syukur.

Mari kita selami bersama kebenaran abadi dari Yohanes 13:12-17 (TB):

"Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu. Sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya."

Peristiwa pembasuhan kaki ini bukan sekadar sebuah ritual simbolis. Ini adalah deklarasi tentang esensi kepemimpinan sejati yang diteladankan oleh Yesus. Bagi generasi kita yang aktif berkarya di berbagai bidang, dari startup teknologi hingga gerakan sosial, prinsip ini menawarkan sebuah perspektif yang transformatif.

Humility (Kerendahan Hati): Fondasi Kepemimpinan yang Kokoh

Dalam sebuah budaya yang seringkali mendorong kita untuk "membangun citra diri" dan "menonjolkan kelebihan", Yesus justru menanggalkan jubah-Nya, simbol status dan kehormatan-Nya, untuk melakukan tugas seorang hamba. Tindakan ini adalah sebuah antitesis dari arogansi.

Bagi kita, para milenial, kerendahan hati bukanlah berarti minder atau tidak percaya diri. Sebaliknya, ini adalah sebuah kesadaran penuh akan identitas kita di dalam Kristus, yang memampukan kita untuk melayani tanpa perlu validasi dari jabatan atau pujian. Pemimpin yang rendah hati adalah mereka yang mau turun tangan, mendengarkan, dan mengakui bahwa mereka tidak memiliki semua jawaban. Kekuatan mereka tidak terletak pada posisi, melainkan pada pengaruh yang lahir dari ketulusan untuk melayani.

Untuk direnungkan:

  • Di lingkungan kerja atau komunitasmu, apakah kamu lebih fokus membangun "kerajaanmu" sendiri atau melayani kebutuhan timmu?
  • Bersediakah kamu melakukan "tugas-tugas yang tidak terlihat" demi kebaikan bersama, tanpa mengharapkan pengakuan?

Love (Kasih): Bahan Bakar Kepemimpinan yang Memberdayakan

Tindakan Yesus membasuh kaki para murid-Nya, termasuk Yudas yang akan mengkhianati-Nya, adalah manifestasi dari kasih yang tanpa syarat. Kasih inilah yang menjadi bahan bakar dari kepemimpinan-Nya. Kepemimpinan yang didasari kasih tidak akan pernah memanipulasi atau mengorbankan orang lain demi mencapai tujuan.

Di dunia profesional yang kompetitif, sangat mudah untuk melihat rekan kerja sebagai saingan. Namun, teladan Yesus mengajak kita untuk melihat mereka sebagai sesama yang patut dikasihi. Pemimpin milenial yang mengasihi akan berinvestasi pada pertumbuhan orang-orang yang dipimpinnya, menciptakan lingkungan yang aman untuk berinovasi dan bahkan gagal, serta selalu mengutamakan kesejahteraan tim di atas target semata.

Untuk direnungkan:

  • Bagaimana kamu dapat menunjukkan kasih yang tulus kepada rekan kerja atau anggota timmu minggu ini, terutama kepada mereka yang mungkin sulit untuk dikasihi?
  • Apakah keputusan-keputusanmu sebagai pemimpin didorong oleh ambisi pribadi atau oleh kasih dan kepedulian tulus terhadap sesama?

Gratitude (Rasa Syukur): Perspektif Kepemimpinan yang Membawa Sukacita

Yesus tahu siapa diri-Nya dan dari mana Ia berasal. Posisi-Nya sebagai Guru dan Tuhan tidak membuat-Nya angkuh, melainkan justru mendorong-Nya untuk memberi teladan dalam pelayanan. Ada sebuah keyakinan dan rasa syukur yang mendasari tindakan-Nya.

Bagi kita, rasa syukur adalah penangkal dari rasa entitlement atau merasa berhak yang seringkali menjebak generasi kita. Ketika kita bersyukur atas talenta, kesempatan, dan kepercayaan yang diberikan, kita akan melihat kepemimpinan bukan sebagai beban, tetapi sebagai sebuah anugerah untuk melayani. Rasa syukur memampukan kita untuk tetap membumi, menghargai kontribusi setiap orang, dan menemukan sukacita dalam prosesnya. Ayat 17 menegaskan, "Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya." Kebahagiaan sejati seorang pemimpin tidak ditemukan dalam kekuasaan, melainkan dalam tindakan pelayanan yang lahir dari hati yang bersyukur.

Untuk direnungkan:

  • Hal-hal apa dalam peran kepemimpinanmu (sekecil apapun itu) yang dapat kamu syukuri hari ini?
  • Bagaimana rasa syukur dapat mengubah caramu memandang tantangan dan tanggung jawab dalam pekerjaan atau pelayananmu?

Sebagai generasi penerus bangsa dan gereja, kita dipanggil untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang membawa perubahan. Injil Yohanes 13 ini mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati seorang pemimpin tidak diukur dari tingginya jabatan atau banyaknya pengikut, melainkan dari dalamnya kerendahan hati, luasnya kasih, dan tulusnya rasa syukur. Marilah kita memimpin seperti Yesus—dengan membasuh kaki.


Sign in to leave a comment